Rabu, 13 Maret 2013

SEJARAH BRAJAMUSTI

SEJARAH BRAJAMUSTI terlahirnya laskar brjamusti(brayat jogja utama mataram sejati) di snilah sejarah terlahirnya Dari sekian banyak pertemuan-pertemuan melibatkan laskar-laskar PSIM waktu itu maka pada tanggal 15 Februari 2003 di Yogyakarta tepatnya di Balai RK Mangkukusuman Markas Laskar PSIM yaitu Hooligans. H.Guntur Artamaji sebagai penggagas dikumpulnya sekelompok laskar PSIM sebelum adanya Brajamusti ( Hooligans, Mgr, Cobra Mataram, Dahkota, Baju Barat, Pathuk squad & Cidelaras). Menetapkan pemilihan nama Suporter PSIM melalui Sayembara surat kabar dan akhirnya terpilih dari sekian banyak nama-nama akhirnya dipilih nama Brajamusti kepanjangan dari 'Brayat Jogja Mataram Utama Sejati'. Arti sesungguh nya dari kata Brajamusti adalah Aji-ajian sakti dari Gatutkaca. Bima adalah salah satu dari pandawa lima, mempunyai anak Gatutkaca. Dia adalah raksasa di Mahabharata dan hanya muncul pada saat perang Baratayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa dalam pewayangan dengan berbagai cerita dan kesaktiannya dengan aji-ajian Brajamusti yang sampai saat ini masih bisa dipelajari dikalangan masyarat Jawa. Maksut dari pengambilan nama Brajamusti untuk wadah suporter PSIM adalah supaya Brajamusti menjadi senjata atau aji-ajian yang ampuh untuk PSIM untuk menghadapi lawan-lawannya dipentas sepakbola Nasional. Jadi Brajamusti selalu ada disamping PSIM dimanapun berlaga. Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook Diposkan oleh Rima Kusuma Dewi di 20:03 No comments: Sejarah Jogja Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756. Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional. Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.

Jumat, 01 Februari 2013

history PERSEBAYA Surabaya

Semakin menjamurnya klub klub sepakbola di eropa pada akhir abad ke 18 juga berpengaruh terhadap negara koloninya. Salah satunya adalah Indonesia (Hindia Belanda) yang menjadi jajahan belanda. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya dua klub sepakbola pertama yaitu Sparta dan Victoria di Surabaya pada tahun 1906. Kedua klub tersebut adalah buatan orang-orang Belanda, P. Swens, A Mesrope, A.C Edgar dan E.W Edgar. Pada jaman tersebut, pribumi sangat dianaktirikan, perlakuan tersebut berdampak pada sepakbola, klub-klub tersebut hanya diisi oleh orang-orang Belanda yang ada di Surabaya. Bahkan saat itu pemerintah kolonial saat itu juga melarang warga pribumi bermain sepakbola di lapangan mereka.
Sepakbola seolah menyihir masyarakat saat itu, alhasil antusiasme orang-orang Belanda yang senang akan sepakbola membuat orang orang Belanda lain untuk membuat klub-klub baru, akirnya muncul THOR (Tot Heil Onzer Ribbenkast), Exelsior, dan HBS (Houdt Braef Standt). Persepakbolaan di Surabaya pada saat itu sudah menggeliat. Puncaknya, pada saat klub tionghoa pertama di Surabaya yaitu Tiong Hoa juara dikejuaran antar klub tionghoa yang ada diseluruh pulau Jawa.
Sukses Tiong Hoa tersebut semakin menggairahkan demam sepakbola saat itu. Kemudia lahirlah SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) oleh orang-orang Belanda pada tahun 1910. Adapun anggotanya pada saat itu antara lain:
- THOR (klub ini bertahan sampai sekarang, anggota klub internal Persebaya kelas I)
- Exelcior
- Ajax
- Zeemacht
- RKS
- Mena Moeria
- HBS (klub anggota kelas 2 internal persebaya, tapi singkatannya menjadi HBS (Harapan Budi Setiawan))
- Annasher (sekarang Asayabab)
- Tiong hoa
9 klub pada saat itu, belum ada satupun orang pribumi yang bermain untuk klub-klub tersebut.
Kebangkitan arek-arek Suroboyo
Pemerintah Hindia-Belanda yang melihat potensi yang dimiliki kota Surabaya akhirnya membangun komplek Lapangan Tambaksari. Pada waktu itu komplek Lapangan Tambaksari terdiri dari 3 Bagian, Lapangan A sekarang Stadion Gelora 10 November, Lapangan B sekarang menjadi lapangan Persebaya, dan Lapangan C sekarang menjadi TRS (Taman Rekreasi Surabaya) atau lebih dikenal dengan THR.
Lambat laun, SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) semakin berkembang, banyak peminat, namun juga diikuti berbagai masalah. Kemudian, muncul saingan SVB yaitu SKVB (Soerabaische Kantorr Voetbal Bond), dimana SKVB ini anggota klub –klubnya berasal dari intansi-intansi Belanda. Anggota SKVB pada saat itu adalah Aniem, BPM, Brantas, DSS, Gemeentee Sport Vereeniging, Internatio, V. SS, De Vrijbuiters, Douane dan Factotij. Sayang, dalam perkembangannya kompetisi ini gagal menunjukkan kualitas yang mendasari tujuan berdirinya, yaitu memperbaiki kekurangan SVB.
Sayangnya diskriminasi terhadap pribumi masih terjadi, banyaknya anak muda yang bermain bola dijalanan-jalanan kota Surabaya. Prihatin dengan kondisi tersebut beberapa orang menengah keatas di Surabaya yang melihat potensi sepak bola yang ada di Surabaya mendorong berdirinya klub klub sepakbola pribumi. Akhirnya satu persatu klub-klub pribumi lahir di Surabaya. Ada Selo, Maroeto, Olivio, Tjahaya Laoet, REGO, Radio, dan PS Hizboel Wathan. Kemajuan klub-klub pribumi semakin dapat menyaingi klub-klub Belanda, tapi karena pada saat itu Belanda menguasai (menjajah) Indonesia, pribumi tetap menjadi korban diskriminasi, padahal prestasi dan skill orang-orang pribumi pada waktu itu tidak kalah dengan orang Belanda.
Persamaan nasib, persamaan visi dan misi. Akirnya pada tahun 1927, dibawah prakarsa Paidjo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927 klub-klub pribumi membentuk SIVB (Soerabaiasche Indische Voetbal Bond), inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Persebaya. Kompetisi pertama SIVB dilaksanakan di lapangan pasar turi dengan peralatan seadanya, tapi respon masyarakat Surabaya bagus saat itu kepada SIVB. SIVB pada tahun 1927 sampai pada awal 1930 sering mengadakan kompetisi internal. Karena ketatnya kompetesi internal, SIVB akirnya dapat diisi dengan pemain-pemain yang berkualitas.
Pada tanggal 19 April 1930, SIVB bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung, MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. SIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh M. Pamoedji. IVB mengadakan kompetisi Perserikatan setahun kemudian, dan prestasi SIVB muncul pada tahun 1938, ketika itu berhasil mencapai final sebelum dikalahkan VIJ Jakarta.
Pada tahun 1942, Jepang yang menginvasi Indonesia mulai sedikit demi sedikit menghilangkan ke-Belanda-an Indonesia. Hal-hal berbau Belanda harus dihapuskan, termasuk orang-orang Belanda yang menjabat di Instansi-intansi tertinggi. Nama-nama berbau Belandapun harus diganti, akirnya pada tahun 1943, nama SIVB berganti menjadi PERSIBAJA (Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaja). Padahal saat itu prestasi SIVB yang hampir semua pemainnya adalah pribumi dan sebagian kecil lainnya adalah tionghoa bisa dibilang sedang melejit. Sayang mereka kembali kalah oleh Persis Solo di final.
Akirnya Persibaja yang saat itu diketuai oleh Dr. Soewandi sukses menjadi Juara Perserikatan tahun 1950! Inilah pertama kalinya Persibaja memperoleh juara pada kompetisi Perserikatan setelah menang melawan Persib Bandung. Tidak sampai disitu, Persibaja memperoleh hattrick juara setelah berturut-turut menjuarai Perserikatan pada tahun 1950, 1951 dan 1952.
Pada tahun 1960, Persibaja berganti nama sesuai ejaan baru yaitu PERSEBAYA. Setelah berganti nama, Persebaya yang menjadi tim paling ditakuti sejak era Belanda berhasil memperoleh julukan spesialis runner-up kompetisi Perserikatan pada tahun 1965, 1967, 1971, 1973 dan 1977. Bersama PSMS Medan, PSM Makassar, Persib Bandung maupun Persija Jakarta persebaya mendominasi kancah persepakbolaan nasional.

Rabu, 28 November 2012

sejarah PSIM YOGYAKARTA

Sejarah terbentuknya PSIM dimulai pada tanggal 5 September 1929 dengan lahirnya organisasi sepak bola yang diberi nama Perserikatan Sepak Raga Mataram atau disingkat PSM. Nama Mataram digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mataram. Kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram atau disingkat PSIM sebagai akibat tuntutan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. PSIM sendiri saat itu sesungguhnya merupakan suatu badan perjuangan bangsa dan Negara Indonesia.
Pada tanggal 19 April 1930, PSIM bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung, MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun) SIVB (Persebaya Surabaya), VVB (Persis Solo) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. PSIM dalam pertemuan tersebut diwakili oleh HA Hamid, Daslam, dan Amir Noto. Setelah melalui perbagai pertemuan akhirnya disepakati berdirinya organisasi induk yang diberi nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1931 dan berkedudukan di Mataram
Sejak tahun itu pulalah kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. Dalam kompetisi perserikatan, PSIM pernah menjadi juara pada tahun 1932 setelah dalam pertandingan final di Jakarta mengalahkan VIJ Jakarta. Selanjutnya PSIM berkali -kali hanya dapat menduduki peringkat kedua setelah kalah dalam pertandingan final kompetisi perserikatan pada tahun 1939, 1940, 1941, 1943, dan 1948.
Sejak Liga Indonesia bergulir pada tahun 1994, prestasi PSIM mengalami pasang surut yang ditandai dengan naik turunnya PSIM dari divisi utama ke divisiI Liga Indonesia. PSIM pernah mengalami degradasi pada Liga Indonesia 1994/1995 dan promosi dua tahun kemudian. Setelah bertanding selama tiga musim di divisi utama, PSIM kembali harus terdegradasi ke Divisi I pada musim kompetisi 1999/2000.
Tiga tahun kemudian pada Divisi I Liga Indonesia 2003 PSIM baru bangkit dan membidik target untuk promosi dengan persiapan tim yang matang. Di babak penyisihan PSIM bahkan dua kali mengkandaskan tim favorit Persebaya Surabaya dalam pertandingan tandang kandang dengan skor telak 3-1, dan 3-0, dan menjuarai Grup C. Sayangnya keperkasaan PSIM semakin lama semakin luntursehingga gagal melanjutkan dominasinya pada babak 8 besar yang berlangsung dengan kompetisi penuh. PSIM yang sejak awal memimpin klasemen harus puas berada di peringkat ke-4, dan berkesempatan untuk mengikuti playoff. Di babak playoff yang dimainkan di Solo, PSIM kalah bersaing dengan Persela Lamongan hanya karena perbedaan jumlah gol.
Akhirnya, setelah lama berjuang menggapai tiket promosi ke divisi utama, PSIM berhasil meraihnya pada Divisi I Liga Indonesia 2005. Bahkan PSIM berhasil menjadi juara kompetisi setelah menaklukan Persiwa Wamena 2-1 dalam final yang digelar di Stadion Jalak Harupat, Soreang, Bandung, 4 September 2005. Gol kemenangan PSIM ditentukan oleh tendangan penalti yang dieksekusi oleh M.Erwin pada menit ke-49.

PRESTASI
- Liga Indonesia 1994/1995 : Peringkat 17 Wilayah Timur (Degradasi)
- Liga Indonesia 1995/1996 : Divisi I Liga Indonesia 1996/1997 : Juara Dua Divisi I(Promosi)
- Liga Indonesia 1997/1998 : Peringkat 10 Wilayah Tengah (Liga dihentikan)
- Liga Indonesia 1998/1999 : Peringkat 5 Wilayah Tengah
- Liga Indonesia 1999/2000 : Peringkat 14 Wilayah Timur (Degradasi)
- Liga Indonesia 2001 : Peringkat 3 Grup Tengah I Divisi I
- Liga Indonesia 2002 : Peringkat 5 Grup 2 Divisi I
- Liga Indonesia 2003 : Peringkat 3 Playoff Divisi I
- Liga Indonesia 2004 : Peringkat 6 Wilayah Barat Divisi I
- Liga Indonesia 2005 : Juara Divisi I (Promosi)
- Liga Indonesia 2006 : Mengundukan diri dari kompetisi bersama PSS Sleman & Persiba Bantul Karena Jogja terkena Gempa Bumi.